
Pendahuluan
Pemerintah telah memperkenalkan perubahan skema pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, khususnya penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) dan beberapa penyesuaian teknis lain, dengan tujuan menyederhanakan perhitungan pajak bulanan dan meningkatkan kepatuhan. Namun sejak implementasi, skema ini menuai kritik keras dari pengamat, praktisi pajak, dan sebagian karyawan karena dianggap memicu kekacauan administrasi dan berpotensi merugikan pekerja di berbagai lapisan.
Apa yang berubah: singkat dan teknis
Perubahan inti adalah pergeseran metode pemotongan bulanan dari model penghitungan yang mengacu pada perhitungan tahunan (menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh) menuju penggunaan tarif efektif rata-rata (TER) untuk menghitung pemotongan setiap masa pajak. Dalam praktiknya, penghitungan TER mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif yang dihitung berdasarkan skenario tertentu, sehingga nilai pemotongan setiap bulan tidak lagi dihitung langsung dari penghasilan kena pajak tahunan yang dikurangkan PTKP dan tarif progresif. Tujuannya, menurut otoritas, adalah penyederhanaan dan konsistensi pemotongan.
baca selengkapnya https://gpkonsultanpajak.co.id/5-kesalahan-fatal-dalam-spt-tahunan-yang-bisa-dihindari-jika-menggunakan-konsultan-pajak-profesional/
baca selengkapnya https://www.gptaxconsultant.com/great-performance-consulting-trusted-2025-corporate-annual-tax-return-expert/
Kritik utama: dari kebingungan hitung hingga potensi kerugian
- Bingungnya implementasi di perusahaan dan petugas pajak. Banyak perusahaan dan konsultan pajak melaporkan bahwa sistem penghitungan baru menimbulkan masalah teknis dan kompatibilitas dengan software penggajian yang selama ini dipakai. Akibatnya, perusahaan mengalami kesulitan melakukan pemotongan dan pelaporan yang sesuai.
- Karyawan menerima potongan lebih besar pada beberapa periode. Karena TER menghitung pemotongan berdasarkan penghasilan bruto tanpa memperhitungkan penyesuaian tahunan yang sama dengan model lama, pada masa-masa tertentu, misalnya saat menerima THR, bonus, atau pembayaran tidak berulang, potongan yang terjadi bisa lebih besar dan terasa merugikan karyawan. Hal ini menimbulkan keraguan bahwa kebijakan justru membebani penerima upah, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke bawah.
- Risiko lebih-/kurang-bayar di akhir tahun dan beban administrasi restitusi. Peralihan metode pemotongan memindahkan beban koreksi pajak ke periode akhir tahun atau saat pelaporan tahunan. Ada kekhawatiran proses pengembalian (restitusi) atau penyesuaian akan memperpanjang sengketa administratif bagi pekerja yang mengalami lebih-bayar.
- Ketidakpastian distribusi penerimaan pajak antar daerah (bagi hasil). Selain soal tarif, ada rencana perubahan mekanisme pembagian hasil PPh 21, misalnya skema yang mempertimbangkan domisili karyawan ketimbang lokasi kantor, yang berpotensi mengubah alokasi penerimaan antara daerah dan memicu kebingungan administratif lebih lanjut.
Respons pemerintah dan upaya mitigasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan telah mengeluarkan panduan teknis serta aturan pelaksana dalam beberapa PMK dan siaran pers terkait insentif PPh 21 untuk meringankan dampak bagi kelompok tertentu. Pemerintah juga menegaskan mekanisme koreksi, misalnya pengembalian kelebihan pemotongan, tetapi pengamat menilai prosesnya belum cukup cepat dan mudah diakses oleh karyawan. Selain itu, ada perluasan kriteria PPh 21 DTP (ditanggung pemerintah) untuk segmen tertentu sebagai langkah mitigasi sosial.
Analisis: mengapa masalah muncul
- Perbedaan tujuan vs kemampuan pelaksana: Meski tujuan kebijakan adalah penyederhanaan, pelaksanaannya menuntut pembaruan pada sistem penggajian, pelaporan, dan integrasi data antara perusahaan dan DJP, sesuatu yang belum merata di seluruh pelaku usaha.
- Perbedaan jenis penghasilan: Skema TER kurang fleksibel menghadapi penghasilan tidak tetap (bonus, THR, lembur) sehingga menimbulkan fluktuasi pemotongan yang terasa tidak adil.
- Keterbatasan edukasi publik: Sosialisasi ke karyawan dan pelaku usaha belum sepenuhnya efektif; banyak wajib pajak individu dan HRD perusahaan yang belum memahami implikasi praktisnya.
Rekomendasi praktis untuk memperkecil dampak
- Perbaikan dan percepatan sosialisasi teknis oleh DJP dan Kemenkeu kepada perusahaan, konsultan pajak, serta pekerja lewat webinar, panduan langkah demi langkah, dan update sistem e-filing.
- Penyesuaian software payroll agar kompatibel dengan TER dan mampu menangani kasus penghasilan tidak tetap tanpa memicu pemotongan berlebih.
- Mekanisme koreksi yang lebih mudah untuk pekerja, misalnya formulir online sederhana dan proses restitusi yang dipercepat.
- Evaluasi kebijakan berbasis data: lakukan assessment setelah periode implementasi (mis. 6–12 bulan) untuk menilai efek distribusi beban pajak dan penerimaan daerah, lalu perbaiki aturan teknis bila ditemukan distorsi.
Kesimpulan
Skema baru PPh 21 yang menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata memiliki niat baik untuk menyederhanakan pemungutan pajak, tetapi implementasinya menyebabkan munculnya masalah teknis, beban administrasi, dan potensi kerugian bagi karyawan, terutama pada masa pembayaran tak teratur seperti THR atau bonus. Pemerintah telah menyiapkan aturan pendukung dan insentif, namun upaya mitigasi harus dipercepat: perbaikan sistem, sosialisasi intensif, dan kemudahan proses koreksi adalah kunci agar tujuan peningkatan efisiensi tidak berubah menjadi beban bagi masyarakat dan pelaku usaha.
baca selengkapnya https://www.gpckonsultanpajak.com/great-performance-consulting-ahli-spt-tahunan-badan-terpercaya-2025/
baca selengkapnya https://gpkonsultanpajak.co.id/5-kesalahan-fatal-dalam-spt-tahunan-yang-bisa-dihindari-jika-menggunakan-konsultan-pajak-profesional/
