Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan. Pajak ini dikenakan kepada Wajib Pajak pribadi dan badan karena tanah dan bangunan sebagai objek pajak memberikan keuntungan, manfaat dan/atau kedudukan sosial ekonomi kepada Wajib Pajak orang atau badan.
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengenai Pajak dan Retribusi Daerah menyebabkan kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) berpindah pada pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sktor Perhutanan, Pertambangan, Perkebunan atau PBB P3 menjadi kewenangan bagi pemerintah pusat, yaitu Direktorat Jenderal Pajak.
Pemilik properti berupa rumah, apartemen, ataupun toko (ruko) pasti familiar dengan adanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan setiap tahun. Jumlah yang harus dibayar diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, yaitu tarif pajaknya sebesar 0,5 persen.
Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998. Dasar yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak atau yang biasa disebut NJOP. Penentuan NJOP ini didasarkan pada harga pasar per wilayah. Penetapannya dilakukan setiap tahun oleh Menteri Keuangan. Jumlah besaran Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang didapat dari perkalian antara tarif sebesar 0,5 persen dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). NJKP sebesar 20 persen dari NJOP apabila besaran NJOP kurang dari Rp1.000.000.000 atau sebesar 40 persen dari NJOP apabila NJOP sebesar Rp1.000.000.000 atau lebih. Jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang akan diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
Melalui Kementerian Keuangan, pemerintah memiliki pandangan bahwa ketentyan mengenai pemberian pengurangan/keringanan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan perlu disesuaikan, misalnya jika terjadi bencana alam dan sebab-sebab lain yang bersifat luar biasa. Untuk mempertimbangkan hal tersebut, pada akhirnya Menteri Keuangan menandatangani PMK Nomor 82/PMK.03/2017 mengenai pemberian Pajak Bumi dan Bangunan pada tanggal 20 Juni 2017.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyebutkan bahwa keringanan atau pengurangan dari Pajak Bumi dan Bangunan dapat diberikan kepada Wajib Pajak apabila ada kondisi tertentu onjek pajak yang berkaitan dengan subjek pajak. Selain itu, juga dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab-sebab lain yang bersifat luar biasa. Bencana alam yang dimaksud merupakan bencana yang terjadi akibat peristiwa atau kejadian tertentu yang disebabkan oleh alam. Misalnya, tsunami, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan atau angin topan.
Namun, berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, ternyata iuran Pajak Bumi dan Bangunan bisa diajukan keringanan dalam kondisi tertentu. Misalnya, Wajib Pajak yang memiliki objek pajak namun berpenghasilan rendah dan Nilai Jual Objek Pajak-nya meningkat akibat dampak pembangunan dan lingkungan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keringanan.
Prosedur atau tata cara yang dapat dilakukan Wajib Pajak untuk mengajukan keringanan PBB adalah:
- Wajib Pajak melakukan permohonan pengurangan dengan mengajukan secara tertulis menggunakan Bahasa Indonesia. Pengajuan dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang melakukan penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP).
- Surat permohonan yang diajukan harus menyebutkan beberapa presentase pengurangan yang dimohonkan.
- Wajib Pajak juga perlu melampiran Surat Pernyataan, fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi rekening tagihan listrik, air, dan telepon, fotokopi bukti pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan tahun pajak sebelumnya dan dokumen pendukung lainnya.
- Permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan ini dilakukan paling lambat tiga bulan sejak SPPT/SKP diterima oleh Wajib Pajak atau sejak bencana alam dan sebab-sebab lain yang luar biasa terjadi.
- Pengurangan diajukan secara kolektif diterbitkan paling lambat tanggal 10 Januari sebelum SPPT untuk tahun pajak tersebut.
Untuk melakukan permohonan pengurangan atau keringanan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap objek pajak yang mengalami bencana alam dan sebab-sebab lain yang bersifat luar biasa, maka Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan-ketentuan. Salah satunya, permohonan diajukan paling lambat enam bulan sejak bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa terjadi.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan memiliki wewenang untuk melakukan penelitian, pengujian, dan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan atau keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Ini sesuai dengan Pasal 9 dari Peraturan Menteri Keuangan yang sudah ditetapkan.
Lalu, dalam jangka waktu paling lama selama empat bulan sejak diterimanya surat permohonan Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan mengenai permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan keputusan berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau bahkan menolak permohonan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Dalam berbagai situasi, besarnya dari pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dapat mencapai 75 persen dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang. Tetapi, dalam kasus Wajib Pajak yang berpenghasilan rendah, pengurangan atau keringanan dapat mencapai 100 persen dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang.