Penyusutan Aset Secara Fiskal Dengan Adanya UU HPP Tahun 2021

Pada tahun 2021, Undang-Undang (UU) Ketentuan Perpajakan Penghasilan (UU KUP) telah mengalami beberapa perubahan terkait aturan penyusutan aset fiskal di Indonesia. Berikut adalah beberapa poin yang relevan terkait penyusutan aset fiskal berdasarkan UU yang mungkin berlaku pada tahun tersebut:

  1. Perubahan Tarif Penyusutan: UU KUP dapat mengatur perubahan tarif penyusutan aset tertentu. Perubahan ini bisa meliputi penyesuaian tarif penyusutan, baik peningkatan atau penurunan, tergantung pada jenis aset yang dimaksud dan ketentuan yang berlaku pada tahun tersebut.
  2. Pengelompokan Aset: UU KUP mungkin juga mengatur klasifikasi dan kelompok aset yang berbeda serta menetapkan tarif penyusutan yang berbeda pula untuk setiap kelompok aset. Misalnya, aset tetap, aset berwujud, aset tak berwujud, dan sebagainya.
  3. Metode Penyusutan: UU KUP juga bisa mengatur tentang metode penyusutan yang diperbolehkan atau diwajibkan untuk digunakan dalam perhitungan penyusutan aset. Beberapa metode yang umum digunakan antara lain metode garis lurus, metode saldo menurun, atau metode lainnya yang diakui oleh peraturan perpajakan.
  4. Aset yang Tidak Dapat Disusutkan: Terkadang, UU KUP juga dapat menetapkan jenis aset tertentu yang tidak dapat disusutkan atau dilarang untuk disusutkan, meskipun secara umum diakui sebagai aset. Hal ini bisa berlaku untuk beberapa jenis aset yang dikecualikan dari proses penyusutan.

 

Terkait dengan penyusutas asset tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud pada 17 Juli 2023. Peraturan tersebut terbit untuk memberikan kepastian hukum sesuai UU HPP dan melakukan simplifikasi peraturan perundang-undangan terkait penyusutan dan amortisasi yang sebelumnya tersebar di beberapa peraturan.

Oleh karena itu, PMK 72/2023 sekaligus mencabut PMK-96/PMK.03/2009, PMK-248/PMK.03/2008, dan PMK-249/PMK03/2008 sebagaimana telah diubah dengan PMK-126/PMK.011/2012. Terdapat tiga pokok aturan dalam beleid tersebut. Yakni, penyusutan dilakukan atas harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara (3M) penghasilan dengan metode garis lurus ataupun saldo menurun (khusus selain bangunan).

Masa manfaat harta berwujud tetap sama dengan pengaturan sebelumnya, perbedaan hanya terjadi pada aturan masa manfaat harta berupa bangunan permanen, yaitu selama 20 tahun. Melalui Pasal 6 PMK, Wajib Pajak (WP) dapat memilih melakukan penyusutan bangunan permanen selama 20 tahun atau sesuai masa manfaat sebenarnya berdasarkan pembukuan WP.

Pada masa transisi, mulai Tahun Pajak 2022, WP dapat menggunakan masa manfaat sesuai pembukuannya dengan menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024. Pemberitahuan tersebut disampaikan untuk bangunan permanen yang dimiliki dan digunakan sebelum Tahun Pajak 2022. Adapun Pasal 7 PMK mengatur biaya perbaikan harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun dikapitalisasi pada nilai sisa buku fiskal harta berwujud dan dibebankan melalui penyusutan. Pemerintah juga mengatur tentang penggantian asuransi, bahwa jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dialihkan atau ditarik dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransi dibukukan atau diakui sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan tersebut. Namun, WP dapat menunda pengakuan kerugian tersebut dengan mengajukan permohonan persetujuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pokok aturan kedua adalah amortisasi dilakukan atas harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dimiliki atau digunakan untuk 3M. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu. Pengaturan baru terkait masa manfaat terletak pada harta tak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun melalui Pasal 9 ayat (4) PMK. WP dapat memilih menggunakan masa manfaat 20 tahun atau masa manfaat sebenarnya berdasarkan pembukuan WP.

Untuk tahun pajak 2022 WP dapat memilih menggunakan masa manfaat sesuai pembukuannya dengan menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024. Selanjutnya, bidang usaha yang diatur dalam beleid tersebut adalah bidang kehutanan dan perkebunan (tanaman keras) yang disusutkan selama 20 tahun. Sementara bidang peternakan, untuk ternak pejantan yang menghasilkan setelah dipelihara satu tahun maka disusutkan selama 9 tahun. Adapun ternak yang menghasilkan setelah dipelihara kurang dari atau sama dengan satu tahun disusutkan sampai dengan 4 tahun.

Pengelompokan ternak yang menghasilkan setelah dipelihara kurang dari atau sama dengan satu tahun merupakan pengaturan baru. Hal tersebut untuk memberikan kemudahan dan kepastian penghitungan penyusutan bagi pelaku usaha ternak. Masa manfaat juga menjadi perbedaan dalam beleid tersebut. Untuk harta berwujud di bidang usaha tertentu secara umum disusutkan mulai bulan produksi komersial yang merupakan bulan mulai dilakukannya penjualan kecuali untuk kelompok ternak yang menghasilkan setelah dipelihara kurang dari atau sama dengan satu tahun disusutkan mulai tahun dilakukannya pengeluarannya.

Sumber: www.antaranews.com